Tag Archive | Tantangan 10 hari

Semua Anak adalah Bintang (7)

Aktivitas hari ini silaturrahim ke rumah sahabat. Terakhir kami ngumpul usai lebaran kemarin. Nah sabtu kami janjian ketemuan dan jalan-jalan.

Jalan-jalan ala kami adalah berkunjung ke rumah tetua (baca : sobat lama yang kami tuakan; karena kami merasa muda; karena kami single juga; karena kami paling mudah diajak keluyuran, 😂 begitulah). Sayangnya, para tetua yang satu lagi jalan sekeluarga, yang satunya lagi ada pengajian dan sibuk sekali, yang satu lagi tidak bisa dihubungi. Yoo wes laa.. lanjut ke plan B, planning yang paling suka dijalani, makan-makan! 😄. Setelah makan, mereka ngajak nyanyi, melepas beban kerja katanya.. hahaa… okelah.. masih free ini diajak bersenang-senang mau suka-suka aja yaa… Ngaroke akhirnya masuk agenda.

Hal yang ku sukai dari sahabatku ini, mereka gaul juga mau sholeh. Meski senang dengan kehidupan ‘main makan dan jalan’ yang kata sebagian orang duniawi banget, mereka tak pernah meninggalkan sholat. Walau suka karoke, lagu pilihan mereka tak seronok dan keren-keren juga, menghibur diri tanpa menurunkan mutu diri.

Meski punya selera makan yang beda, tontonan beda, bacaan beda, musik beda, style fashion beda, pola pikir utara selatan barat timur banget, kami melatih diri saling menghargai setiap pilihan. Yayayaaaa.. perang pendapat lewat kata-kata tentu tak terelakkan di setiap pertemuan. Tapi justru peperangan itulah yang bikin pertemanan kami sampai kini masih awet. Alhamdulillah…

Satu hal lagi, memang benar, silaturrahim itu membuka pintu rezeki. Hari ini aku dikasih 3 buku bacaan buat bocah dan temanya sangat baguuuuuussss buat melatih sikap anak.

Semua Anak adalah Bintang (6)

Aktivitas berbinar hari ini adalah keliling kota menemani ipar dan dua ponakan. Kami berkendara motor. Yaps, silakan bayangin sendiri empat penumpang di atas satu motor, di jalanan terik dan berdebu dan jauh dan dua diantara penumpangnya rewel! Ternyata aktivitas berbinar pun tetap ada tantangan yang mesti ditaklukkan. 😂

Aku belajar dari iparku ketika menangani bocah dalam perjalanan hari ini. Yang bosen laa.. capek laa.. laper laa.. pengen pipis tiap bentar laa.. minta susu laa.. duhaiii.. jadi emak itu luar biassaaa!!

Ada beberapa ocehan mereka yang didengarkan, ada beberapa yang didiamkan saja. Kebiasaanku mengajak bocah berdialog tak selalu efektif. Ada saatnya bocah memang tak usah diajak ngomong. Biarkan ia menyelesaikan emosinya sendiri dahulu. Setelah stabil, baru diajak ngobrol.

Hal penting lainnya yang perlu jadi catatan tebal adalah selain bekal makanan dan perkakas pribadi, selalu siapkan mainan. Yuhuuu.. anak-anak senang sekali bermain. Dia tidak peduli kita sedang capek atau sibuk dengan urusan pribadi, main adalah kebutuhannya, “passion” hidupnya. Dengan membawa mainan, kita punya waktu untuk menikmati perjalanan barang ‘sebentar’. Sebentar itu sudah lebih dari cukup daripada tidak sama sekali. Hahaaa….

Semua Anak adalah Bintang (5)

Tiga hari berturut-turut saya mikir keras tentang persiapan jadi guru kembali. Selain kemantapan hati, banyak sekali hal yang harus dipersiapkan.

Dua hari saya ngubek strategi buat mikro teaching sekaligus mikir cara kece ngadepin bocah yang saya pun enjoy melakoninya. It’s not as easy as I predicted. Mungkin karena mau dinilai, lulus atau tidak adalah keputusan dari hasil tes ini, jadi wajarlah yaa bercampur baur rasa sampe deg-degan… 😁

Setelah dilakoni, Alhamdulillah berjalan dengan baik. Tidak 100% sesuai dengan prediksi sih.. karena saya belum begitu mengenal peserta didik, jadi ada beberapa pengkondisian yang sepertinya perlu teknik yang lebih uhui.

Feedback dari yang menilai malah bikin ge er. Apresiasinya menyenangkan hati saya. Wanita yaa.. paling suka dipuji. Hahaa..

Catatan untuk hari ini :

Semua anak adalah bintang, betul sekali. Tapi kita ga akan bisa melihat itu ketika kita sendiri ga menemukan bintang di diri kita.

Saya sempat menyesatkan diri, mencoba terjun ke dunia kantoran, berkecimpung dengan file dan administrasi, berkorespondensi dengan instansi pemerintah, bergaul dengan dunia pembangunan ‘fisik’, yang walau saya bisa mengikuti dan menjalankan dengan baik, saya masih merasa ada yang hilang.

Hari ini, saya bersentuhan kembali dengan bocah-bocah, melihat binar binar ingin tahu, muncul rasa tertantang ketika bocah yang kata dan sikapnya menguji kesabaran. Kehangatan di dada hari ini seolah mengukuhkan bahwa ini adalah dunia saya. Mendidik adalah passion saya.

Walau capek sudah pasti, mikir keras sudah tentu, saya bahagia. 😊

Semua Anak adalah Bintang (4)

Binar hari ini berkaitan dengan pekerjaan yang mudah-mudahan berjodoh aku geluti sebentar lagi, menyampaikan ilmu agama kepada para bocah dalam kemasan bahasa Inggris.

Aku menyukai bahasa Inggris sejak kecil dan acap membaca bacaan berbahasa Inggris. Namun hingga kini, kemampuan speakingku masih mengenaskan. Padahal, aku begitu ingin cas cis cus menceracau suka-suka. Seperti kata mbak dini beberapa hari yang lalu, sampai level bisa bercanda dalam bahasa Inggris.. pengeeeeen banget.

Seperti lancar bahasa Padang, aku belajar justru karena lingkunganku semua berbahasa Padang. Empat tahun pertama tinggal di Sumatera barat tak menjadikanku fasih bahasa Padang, karena di asrama, berbahasa daerah itu dilarang. Justru setelah keluar dari asrama dan bersentuhan dengan masyarakat luar yang setiap hari berbahasa Padang meski aku menjawab pakai bahasa Indonesia, aku baru bisa sedikit demi sedikit ngomong bahasa Padang. Dan Alhamdulillah.. enam bulan di tengah mereka, aku telah mampu ngoceh ngalor ngidul cekakak cekikik berjam-jam dengan bahasa Padang.

Maka dari itu aku berkesimpulan, aku butuh nyemplung di lingkungan yang semuanya berbahasa Inggris sepanjang hari. Ku putuskan untuk mencoba masuk ke lingkungan kerja berbahasa Inggris. Alhamdulillah.. beberapa hari yang lalu aku diundang interview di sekolah bilingual dan setelahnya aku diminta praktek mengajar sebagai pengukuhan diterima atau tidak. Praktek tersebut akan dilaksanakan Rabu nanti.

Sebagai bekal, sejak kemarin kerjaku melatih kemampuan pronunciation dengan membaca keras-keras tulisan berbahasa Inggris yang berkaitan dengan pendidikan dan materi keislaman. Bersyukur sekali dengan kemajuan teknologi saat ini sehingga aku bisa mencari referensi yang pas dengan kebutuhan tanpa banyak kendala.

Hari ini, aku menemukan link ini ➡ http://www.iqrasense.com/muslim-character/raising-children-in-islam-how-to-raise-children-into-responsible-muslim-adults.html

Secara garis besar isinya bisa ku pahami karena hadits dan ayat yang disampaikan sebagian besar telah dipelajari dulu semasa sekolah. Senangnya, aku bisa mengerti dan jadi tahu susunan kalimatnya dalam bahasa Inggris tanpa harus men-translate artinya. Ehehe.. ini yang bikin berbinar.

Ada beberapa kosa kata asing, juga yang lupa lupa ingat apa artinya. Kata dan kalimat yang menurutku bagus dan asing, ku catat dalam jurnal berikut terjemahan.

Semoga niat dan usaha baik ini membuahkan hasil yang baik pula.

Btw, berkaitan dengan empat ranah yang jadi tantangan, dari narasi di atas, sepertinya intrapersonal, melek perubahan dan spiritual lumayan menonjol. Interpersonal tidak kentara karena ini memang monolog sih, tentang aku dan diriku sendiri. 😊

Semua Anak adalah Bintang (3)

Hari ini aku telah melakukan kesalahan, hiks…

Babang main ke kamarku tadi pagi. Seperti biasa, ia memegang apa pun yang ada lalu mempertanyakan “ini apa umi?”. Jika tidak sedang bertanya, ia pasti ‘meneliti’ benda tersebut. Caranya meneliti bisa dengan mengamati, mengguncang, merobek, bebongkar, dan biasanya berujung ke aktivitas ‘tahan bantingkah?’ ini yang suka bikin senyum bersama tangisan, apa lagi yang dibanting adalah benda tak tahan banting.. 😂😱

Nah, karena aku sedang dandan dalam rangka mau pergi ke suatu tempat, aku tak bisa full meladeni dia yang tengah aktif. Setelah mainan ia bawa ke kamar dan berserakan lalu bosan, ia melipir ke sudut ruangan dan lama tak bersuara.

Aku memperhatikannya dari cermin. Penasaran juga sedang apa dia disana. Sayangnya, ia berada di balik matras yang ku angkat menempel di dinding dan membentuk celah segi tiga.

Segera ku panggil dan ia mendekat. Ia membawa pemantik api yang ku letak di dekat jendela, di belakang matras itu. Belum sempat ngomong, babang langsung menyalakan pemantik tersebut dan jemarinya dekat sekali dengan nyala api. Sontak saja aku mengeraskan suara larangan, “Babang, ga boleh main api!”

Usai mengucapkan, aku langsung sadar dengan bentakanku. Aku merasa sangat bersalah. Baru semalam aku membaca bahwa binar mata rasa ingin tahu anak itu permata, dan aku baru saja memadamkan binar tersebut.

Iya.. babang menyalakan pemantik dengan wajah sumringah. Binar itu terlihat jelas sekali. Seolah bilang, “Aku bisa lho mi nyalain…” Namun karena kepanikanku, membuat senyumnya memudar dan muncul ekspresi bersalah. Aaahhh… Maafkan umi baaang…

Lalu ku peluk dia dan ku pangku. Ku katakan, “Bang, maaf yaa barusan umi bersuara keras.. Babang keren deh sudah bisa menyalakan pemantik api. Tapi pemantik ini kalau dinyalakan bisa berbahaya bang.. api bisa membakar apa pun yang ada di dekatnya.” Lalu ku tunjuk kakinya yang beberapa hari lalu kena knalpot motor. “Ini, kalau kena panas api, bisa melepuh kayak luka babang ini.”

Aku tak terlalu yakin menyampaikannya dengan baik. Tapi itulah usahaku memperbaiki sikapku sebelumnya. Ekspresi babang setelah aku jelaskan juga biasa saja, tak ada respon kalau dia mengerti ucapanku. Yang ku lihat, dia mendengarkan celotehku sambil membolak-balik pemantik dengan jemarinya.

Semua Anak adalah Bintang (2)

Aku tertegun di dua lembar ini. Baca lagi, baca lagi, diulang lagi. Persis dengan lembar-lembar sebelumnya. Seperti ada pukau, tiap lembar terasa rugi untuk dilewatkan. Ho oh.. buku ini kaya gizi.

Belum bisa menyimpulkan, karena masih sibuk mencerna. Meski sudah pernah dibaca, tetap saja, tanpa dipraktikkan ilmu menguap begitu saja. Dan membacanya kali ini seperti baru pertama kali membaca.

Semua Anak Adalah Bintang (1)

Aku sebelum Berkenalan dengan Multiple Intelligences

Tamat SMA, aku ditawari menjadi guru asrama di pesantren tempatku bersekolah. Pengalaman mendidikku jauh dari kata siap. Bermodal semangat kemauan belajar yang tinggi, aku menerima tawaran tersebut.

Tahun pertama aku mendampingi santri SMP sebanyak 40 anak dalam satu asrama. Awalnya, ku kira menjadi guru asrama itu simpel saja. Tugasnya tidak dirasa berat karena aku sudah merasakan proses menjadi santri itu bagaimana. Namun ternyata mengawasi 40 remaja labil dengan beragam tipikal itu sangat menguras tenaga, pikir dan rasa.

Semester pertama aku mampu mendongkrak, menggemilangkan prestasi anak asrama. Mulai dari segi disiplin, semangat menjaga kebersihan, hingga kepatuhan. Di semester kedua, masalah menghantam yang dimulai dari kecemburuan anak asramaku karena merasa aku hanya lebih peduli ke beberapa santri saja. Lalu masalah kian berlanjut membola salju ke permasalahan lain yang aku sendiri kesulitan mengatasinya.

Aku menelusuri latar belakang hidup mereka dan memang sebagian besar berasal dari keluarga yang bermasalah, keluarga yang ‘rusak’. Tuntutan mereka terhadapku adalah tuntutan yang mereka butuhkan dari keluarga tak mereka peroleh. Sementara aku dengan keterbatasan ilmu dan kematangan, sangat kesulitan membantu mencari jalan keluar.

Akhir tahun tak berakhir bahagia. Aku merasa menjadi guru yang gagal karena tidak bisa menjadi guru asrama yang baik bagi semua anak asramaku.

Tahun kedua aku mengajukan menjadi guru asrama untuk anak baru. Tapi atasan tidak mengaminkannya. Aku malah diletakkan menjadi guru asrama kelas dua SMA. Satu tantangan hebat mengingat mereka yang akan jadi anak asramaku adalah adik kelas yang cukup akrab denganku dahulu.

Karena usia tak terpaut jauh, mudah bagi kami untuk mengakrabkan diri. Lagi-lagi, di semester pertama, kami menjadi keluarga yang sangat harmonis romantis. Aku sungguh menyayangi mereka seperti adik kandungku sendiri.

Namun lagi-lagi di semester kedua kami ditimpa masalah emosional. Aku menjadi down waktu itu. Pengalaman perasaan gagal di tahun pertama menjadi momok, akankah di tahun kedua ini aku gagal kembali menjadi guru asrama?

Karena down, aku tak mampu berpikir jernih. Aku merasa ingin resign saja. Tapi pimpinan pesantren memberikanku arahan untuk terus bertahan. Sebagai solusi, aku pindah ke asrama lain.

Ketika aku mengumumkan kepindahanku, kami berbaikan. Aku tak ingin meninggalkan kesan buruk terhadap orang-orang yang ku sayang. Seburuk-buruknya aku dan perlakuan yang mungkin tanpa sadar telah ku lakukan, aku sangat menyayangi mereka. Ku ungkapkan rasa sayang itu. Masalah yang selama ini memberatkan dada, menguap hilang entah kemana, plong! Mereka pun terlihat sama, penyesalan terlihat jelas di mata mereka. Ah.. banjir air mata kemudian jadi tak terhindarkan.

Serunya, asrama yang ku masuki kemudian adalah asrama yang kondisinya sedang dalam guncangan. Anak-anak itu sedang cinta-cintanya dengan guru asramanya, dan dengan tiba-tiba guru asrama mereka dipecat, dan aku diposisikan menggantikan guru asrama tersebut.

Mereka yang berada dalam asrama tersebut kebanyakan adalah anak dengan latar belakang keluarga bermasalah. Sikap mereka memang lumayan terkenal kurang baik. Dan ku perhatikan, mereka sengaja mengambil posisi antagonis dalam banyak peraturan dan perilaku.

Terbayang drama yang kemudian terjadi? Malam pertama aku pindah ke asrama itu, semua anak-anaknya kabur dan menginap di asrama yang lain. Tiga malam aku ditinggal sendiri di asrama. Beberapa malam berikutnya sudah ada sebagian yang kembali. Sementara itu, aku tak dianggap sama sekali, seolah tak ada.

Mentalku jatuh. Aku sakit. Aku izin cuti selama seminggu dan pulang kampung. Habis masa cuti, aku kembali ke asrama. Subuh aku telah tiba di asrama tanpa sambutan dan sapaan hangat.

Qadarullah, siang harinya, terjadi gempa bumi yang sangat kencang. Saat itu masuk waktu shalat Zuhur. Seluruh santri kocar-kacir panik. Singkat cerita, para santri diungsikan ke lapangan di sekolah.

Sekitar pukul dua siang, ratusan santri yang berkumpul di tengah lapangan kehausan dan kelaparan. Aku dan guru-guru segera mencari makanan untuk mereka. Mengingat peristiwa tersebut, heroik sekali aksiku rasanya waktu itu. Hehe..

Pada saat membagikan makanan, anak asrama yang ku dampingi mulai menyapaku, mereka lapar. Hatiku terenyuh. Butuh ketidakberdayaan untuk mematahkan ego mereka. Mulai dari hari itu, sebagian besar mereka menerimaku.

Perjalananku beberapa bulan bersama mereka jauh dari kata mulus. Kesulitan sekali rasanya memahami mau mereka. Sementara, aku memiliki tugas untuk ‘menjadikan’ mereka sholehah. Beberapa santri bisa aku dekati dan diberi arahan. Tapi sebagian besar, jauh sekali dari jangkauan. Mereka cenderung menjauhkan diri dan aku belum tahu cara bagaimana memasuki dunia mereka, walau aku ingin sekali.

Jelas sudah, dua tahun dengan catatan kegagalan, aku pikir sulit bagiku untuk lanjut menjadi guru asrama. Aku sempat menyalahkan atasan karena harusnya aku diletakkan di kelas bawah karena aku merasa mampu disana. Aku berharap, di tahun berikutnya aku bisa menjadi guru asrama kelas bawah. Aku juga menyalahkan mengapa ada anak yang begitu bebalnya. Benarkah tak ada yang bisa diharapkan dari mereka? Benarkah tak ada yang bisa aku lakukan untuk membuat mereka menjadi lebih baik?

Rasa gagal itu dihantam kian keras oleh pengumuman seleksi karyawan bahwa aku masuk dalam salah satu daftar guru asrama yang tidak dilanjutkan kontrak kerjanya. Aku semakin down. Tidak lulus seleksi menjadi guru asrama ini mengukuhkan rasa gagalku. Walhasil, ini berpengaruh pada kepercayaan diri. Jatuh yang sakit sekali.

Pindah Kuliah

Saat memutuskan menjadi guru asrama, aku menimbang banyak hal. Sejujurnya, aku hanya ingin kuliah PGRA. Saat itu durasinya hanya dua tahun. Namun aku dihadapkan pada dilema, jika kuliah PGRA, aku tidak bisa menjadi guru asrama karena mata kuliahnya padat. Satu-satunya jurusan yang bisa ku ambil hanyalah S1 PAI.

Sembari bekerja, aku kuliah. Prestasiku di kampus terbilang sangat bagus. Yaa.. aku suka belajar! Aku aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Aku juga terlibat dalam lembaga training sehingga acap kemana-mana dan aktif dalam buletin kampus. Yaps.. full day school, full day work. And I love it.

Di tahun ketiga, setelah tidak lulus dan lanjut menjadi guru asrama, aku masih melanjutkan kuliah dan ngekos. Pengalaman pertama jadi anak kos dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Meski tak berpengaruh dengan prestasiku di kampus, perasaan gagal dan kecewa pada diri sendiri pada lingkungan, membuat mentalku kacau. Semester keenam, aku minta pulang. Aku tak mau lagi kuliah. Aku depresi.

Lembaran Baru

Papaku tak rela aku menganggur saja di rumah. Terlebih melihat prestasiku sangat baik di bangku kuliah. Dengan segenap perjuangan, aku menyambung kembali kuliah di STAIN Bengkulu.

Awal kuliah, aku sempat underestimate dengan kampus ini. Terlebih belajar mahasiswanya jauuuuuhh benar dari semangat yang biasa aku rasakan di lingkungan pesantren dulu. Kuliah terasa begitu garing karena banyak sekali orang-orang pandir.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati belajar di kampus ini. Jiwa sosialku terpanggil untuk mengajak teman-teman seperjuangan membuka wawasan. Aku berusaha memperkenalkan mereka pada teori-teori terkini dan teknologi canggih. Di semester berikutnya aku masuk BEM kampus. Aku ingin mereka tertular semangat menjadi pemuda muslim yang bagus ilmu agamanya, juga canggih, tidak ketinggalan zaman.

Lumayan banyak kesan dan pelajaran yang ku peroleh disana. Salah satu kesan mendalam itu adalah kisah jatuh cintaku pada teori Multiple Intelligences yang kemudian tertuang dalam skripsi.

Satu Kata : Terpesona

Sekolahnya Manusia, penulis Munif Chatib. Buku bersampul kuning itu menarik sekali untuk dibaca. Saat itu memang aku sedang mencari ide untuk penelitian skripsi. Ketika aku baca, TRIIINGGGG!!! Seperti bohlam menyala, buku itu menerangi. Seperti air, buku itu menyuburkan semangat hidupku, membuatku terpesona, bergairah kembali untuk belajar.

Teori Multiple Intelligences (MI) sudah aku kenal lewat buku-buku motivasi, sumber belajar saat aktif di dunia training dahulu. Namun menyatukannya dalam proses pembelajaran di sekolah? Pak Munif yang memperkenalkanku lewat bukunya itu. Maka dengan langkah pasti, aku memilih MI sebagai bahan penelitian di skripsiku.

Sayangnya, keterbatasan link dan referensi, membuat aku bingung tentang cara mempraktikkannya. Penelitian library research adalah satu-satunya usaha yang bisa aku lakukan.

Walau terbilang sukses gilang gemilang, aku merasa masih sangat mentah dalam memahami teori ini untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Maka setelah lulus kuliah, aku bertekad, jika jadi guru agama, aku akan jadi guru yang beda, yang menyenangkan!

Menjadi Guru Agama yang Menyenangkan

Allah menjawab doaku. Aku menjadi guru SD kelas bawah dengan mengampu pelajaran agama. Teori strategi berbasis MI yang selama ini cuma nangkring di kepala, satu persatu bisa aku praktikkan langsung. Misiku untuk memperkenalkan agama dengan cara yang indah menyenangkan dengan harapan terkenang sepanjang hayat, rasanya lumayan terwakili selama dua tahun mengajar.

Melihat binar mata para bocah saat mendapatkan pengetahuan baru, melihat ekspresi bahagia mereka saat aku memasuki ruang kelas, merasakan kehangatan dan keakraban hingga di luar kelas, ah.. betapa menyenangkannya menjadi guru!

Terkadang, aku berandai saat ku ingat kisah kegagalanku di masa silam, andai dulu aku sudah mengetahui teori ini, strategi MI ini, memandang semua anak itu cerdas, istimewa, bintang keluarga, mungkin akan ada saja pintu masuk aku ke dunia mereka, mungkin ada yang bisa aku bantu..

Semua sudah berlalu dan jadi pengalaman dan pelajaran berharga. Bermodalkan kegagalan tersebut, aku justru semakin sensitif dan mencoba jeli melihat potensi baik yang ada pada setiap anak, meski kadang sudah merasa sangat buntu. Dan jika telah sangat buntu, aku akan rehat sejenak dan membuka buku kembali. Yaps.. guru juga butuh guru. Jika tak bisa bertemu langsung, buku cukup jua tuk jadi penawar.

Menyalakan Binar Baca

Sudah lama aku tak begitu antusias membaca buku. Ajaibnya, tantangan kali ini mampu mendongkrak antusias baca itu kembali. Ku rasakan sensasi binarnya saat melihat buku MI-nya pak Munif Chatib yang ada di playbook, yang jarang aku buka. Maklum, empat tahun nonaktif dari dunia pendidikan dirasa cukup menjadi alasan. ✌😁✌

Projek pertamaku adalah menuntaskan buku orangtuanya manusia. Sembari itu, aku akan langsung mempraktikkan discovering ability pada dua ponakan lelakiku.

❤ Hasil discovering ability Hari ini :

Saat nonton lomba 17-an, ada momen wooowww yang tanpa terduga terjadi. Babang yang sedang asik bersepeda, dengan inisiatifnya sendiri, turun dan mengambil bola adeknya yang ditendang oleh teman mainnya (videonya ada di halaman Facebook saya).

👍 intrapersonal : melakukan sendiri tanpa diminta, tanpa instruksi

👌 Interpersonal : menunjukkan kepedulian, kasih sayang.

👏 Change factor : Kalau berdua masih suka rebutan, kalau ada orang lain atau saat dibutuhkan, dia mulai bisa memposisikan dirinya sebagai Abang.

✊ Spiritual : terwakili oleh kalimat di atas.