Archive | 18 Agustus 2017

Semua Anak adalah Bintang (2)

Aku tertegun di dua lembar ini. Baca lagi, baca lagi, diulang lagi. Persis dengan lembar-lembar sebelumnya. Seperti ada pukau, tiap lembar terasa rugi untuk dilewatkan. Ho oh.. buku ini kaya gizi.

Belum bisa menyimpulkan, karena masih sibuk mencerna. Meski sudah pernah dibaca, tetap saja, tanpa dipraktikkan ilmu menguap begitu saja. Dan membacanya kali ini seperti baru pertama kali membaca.

Semua Anak Adalah Bintang (1)

Aku sebelum Berkenalan dengan Multiple Intelligences

Tamat SMA, aku ditawari menjadi guru asrama di pesantren tempatku bersekolah. Pengalaman mendidikku jauh dari kata siap. Bermodal semangat kemauan belajar yang tinggi, aku menerima tawaran tersebut.

Tahun pertama aku mendampingi santri SMP sebanyak 40 anak dalam satu asrama. Awalnya, ku kira menjadi guru asrama itu simpel saja. Tugasnya tidak dirasa berat karena aku sudah merasakan proses menjadi santri itu bagaimana. Namun ternyata mengawasi 40 remaja labil dengan beragam tipikal itu sangat menguras tenaga, pikir dan rasa.

Semester pertama aku mampu mendongkrak, menggemilangkan prestasi anak asrama. Mulai dari segi disiplin, semangat menjaga kebersihan, hingga kepatuhan. Di semester kedua, masalah menghantam yang dimulai dari kecemburuan anak asramaku karena merasa aku hanya lebih peduli ke beberapa santri saja. Lalu masalah kian berlanjut membola salju ke permasalahan lain yang aku sendiri kesulitan mengatasinya.

Aku menelusuri latar belakang hidup mereka dan memang sebagian besar berasal dari keluarga yang bermasalah, keluarga yang ‘rusak’. Tuntutan mereka terhadapku adalah tuntutan yang mereka butuhkan dari keluarga tak mereka peroleh. Sementara aku dengan keterbatasan ilmu dan kematangan, sangat kesulitan membantu mencari jalan keluar.

Akhir tahun tak berakhir bahagia. Aku merasa menjadi guru yang gagal karena tidak bisa menjadi guru asrama yang baik bagi semua anak asramaku.

Tahun kedua aku mengajukan menjadi guru asrama untuk anak baru. Tapi atasan tidak mengaminkannya. Aku malah diletakkan menjadi guru asrama kelas dua SMA. Satu tantangan hebat mengingat mereka yang akan jadi anak asramaku adalah adik kelas yang cukup akrab denganku dahulu.

Karena usia tak terpaut jauh, mudah bagi kami untuk mengakrabkan diri. Lagi-lagi, di semester pertama, kami menjadi keluarga yang sangat harmonis romantis. Aku sungguh menyayangi mereka seperti adik kandungku sendiri.

Namun lagi-lagi di semester kedua kami ditimpa masalah emosional. Aku menjadi down waktu itu. Pengalaman perasaan gagal di tahun pertama menjadi momok, akankah di tahun kedua ini aku gagal kembali menjadi guru asrama?

Karena down, aku tak mampu berpikir jernih. Aku merasa ingin resign saja. Tapi pimpinan pesantren memberikanku arahan untuk terus bertahan. Sebagai solusi, aku pindah ke asrama lain.

Ketika aku mengumumkan kepindahanku, kami berbaikan. Aku tak ingin meninggalkan kesan buruk terhadap orang-orang yang ku sayang. Seburuk-buruknya aku dan perlakuan yang mungkin tanpa sadar telah ku lakukan, aku sangat menyayangi mereka. Ku ungkapkan rasa sayang itu. Masalah yang selama ini memberatkan dada, menguap hilang entah kemana, plong! Mereka pun terlihat sama, penyesalan terlihat jelas di mata mereka. Ah.. banjir air mata kemudian jadi tak terhindarkan.

Serunya, asrama yang ku masuki kemudian adalah asrama yang kondisinya sedang dalam guncangan. Anak-anak itu sedang cinta-cintanya dengan guru asramanya, dan dengan tiba-tiba guru asrama mereka dipecat, dan aku diposisikan menggantikan guru asrama tersebut.

Mereka yang berada dalam asrama tersebut kebanyakan adalah anak dengan latar belakang keluarga bermasalah. Sikap mereka memang lumayan terkenal kurang baik. Dan ku perhatikan, mereka sengaja mengambil posisi antagonis dalam banyak peraturan dan perilaku.

Terbayang drama yang kemudian terjadi? Malam pertama aku pindah ke asrama itu, semua anak-anaknya kabur dan menginap di asrama yang lain. Tiga malam aku ditinggal sendiri di asrama. Beberapa malam berikutnya sudah ada sebagian yang kembali. Sementara itu, aku tak dianggap sama sekali, seolah tak ada.

Mentalku jatuh. Aku sakit. Aku izin cuti selama seminggu dan pulang kampung. Habis masa cuti, aku kembali ke asrama. Subuh aku telah tiba di asrama tanpa sambutan dan sapaan hangat.

Qadarullah, siang harinya, terjadi gempa bumi yang sangat kencang. Saat itu masuk waktu shalat Zuhur. Seluruh santri kocar-kacir panik. Singkat cerita, para santri diungsikan ke lapangan di sekolah.

Sekitar pukul dua siang, ratusan santri yang berkumpul di tengah lapangan kehausan dan kelaparan. Aku dan guru-guru segera mencari makanan untuk mereka. Mengingat peristiwa tersebut, heroik sekali aksiku rasanya waktu itu. Hehe..

Pada saat membagikan makanan, anak asrama yang ku dampingi mulai menyapaku, mereka lapar. Hatiku terenyuh. Butuh ketidakberdayaan untuk mematahkan ego mereka. Mulai dari hari itu, sebagian besar mereka menerimaku.

Perjalananku beberapa bulan bersama mereka jauh dari kata mulus. Kesulitan sekali rasanya memahami mau mereka. Sementara, aku memiliki tugas untuk ‘menjadikan’ mereka sholehah. Beberapa santri bisa aku dekati dan diberi arahan. Tapi sebagian besar, jauh sekali dari jangkauan. Mereka cenderung menjauhkan diri dan aku belum tahu cara bagaimana memasuki dunia mereka, walau aku ingin sekali.

Jelas sudah, dua tahun dengan catatan kegagalan, aku pikir sulit bagiku untuk lanjut menjadi guru asrama. Aku sempat menyalahkan atasan karena harusnya aku diletakkan di kelas bawah karena aku merasa mampu disana. Aku berharap, di tahun berikutnya aku bisa menjadi guru asrama kelas bawah. Aku juga menyalahkan mengapa ada anak yang begitu bebalnya. Benarkah tak ada yang bisa diharapkan dari mereka? Benarkah tak ada yang bisa aku lakukan untuk membuat mereka menjadi lebih baik?

Rasa gagal itu dihantam kian keras oleh pengumuman seleksi karyawan bahwa aku masuk dalam salah satu daftar guru asrama yang tidak dilanjutkan kontrak kerjanya. Aku semakin down. Tidak lulus seleksi menjadi guru asrama ini mengukuhkan rasa gagalku. Walhasil, ini berpengaruh pada kepercayaan diri. Jatuh yang sakit sekali.

Pindah Kuliah

Saat memutuskan menjadi guru asrama, aku menimbang banyak hal. Sejujurnya, aku hanya ingin kuliah PGRA. Saat itu durasinya hanya dua tahun. Namun aku dihadapkan pada dilema, jika kuliah PGRA, aku tidak bisa menjadi guru asrama karena mata kuliahnya padat. Satu-satunya jurusan yang bisa ku ambil hanyalah S1 PAI.

Sembari bekerja, aku kuliah. Prestasiku di kampus terbilang sangat bagus. Yaa.. aku suka belajar! Aku aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Aku juga terlibat dalam lembaga training sehingga acap kemana-mana dan aktif dalam buletin kampus. Yaps.. full day school, full day work. And I love it.

Di tahun ketiga, setelah tidak lulus dan lanjut menjadi guru asrama, aku masih melanjutkan kuliah dan ngekos. Pengalaman pertama jadi anak kos dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Meski tak berpengaruh dengan prestasiku di kampus, perasaan gagal dan kecewa pada diri sendiri pada lingkungan, membuat mentalku kacau. Semester keenam, aku minta pulang. Aku tak mau lagi kuliah. Aku depresi.

Lembaran Baru

Papaku tak rela aku menganggur saja di rumah. Terlebih melihat prestasiku sangat baik di bangku kuliah. Dengan segenap perjuangan, aku menyambung kembali kuliah di STAIN Bengkulu.

Awal kuliah, aku sempat underestimate dengan kampus ini. Terlebih belajar mahasiswanya jauuuuuhh benar dari semangat yang biasa aku rasakan di lingkungan pesantren dulu. Kuliah terasa begitu garing karena banyak sekali orang-orang pandir.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati belajar di kampus ini. Jiwa sosialku terpanggil untuk mengajak teman-teman seperjuangan membuka wawasan. Aku berusaha memperkenalkan mereka pada teori-teori terkini dan teknologi canggih. Di semester berikutnya aku masuk BEM kampus. Aku ingin mereka tertular semangat menjadi pemuda muslim yang bagus ilmu agamanya, juga canggih, tidak ketinggalan zaman.

Lumayan banyak kesan dan pelajaran yang ku peroleh disana. Salah satu kesan mendalam itu adalah kisah jatuh cintaku pada teori Multiple Intelligences yang kemudian tertuang dalam skripsi.

Satu Kata : Terpesona

Sekolahnya Manusia, penulis Munif Chatib. Buku bersampul kuning itu menarik sekali untuk dibaca. Saat itu memang aku sedang mencari ide untuk penelitian skripsi. Ketika aku baca, TRIIINGGGG!!! Seperti bohlam menyala, buku itu menerangi. Seperti air, buku itu menyuburkan semangat hidupku, membuatku terpesona, bergairah kembali untuk belajar.

Teori Multiple Intelligences (MI) sudah aku kenal lewat buku-buku motivasi, sumber belajar saat aktif di dunia training dahulu. Namun menyatukannya dalam proses pembelajaran di sekolah? Pak Munif yang memperkenalkanku lewat bukunya itu. Maka dengan langkah pasti, aku memilih MI sebagai bahan penelitian di skripsiku.

Sayangnya, keterbatasan link dan referensi, membuat aku bingung tentang cara mempraktikkannya. Penelitian library research adalah satu-satunya usaha yang bisa aku lakukan.

Walau terbilang sukses gilang gemilang, aku merasa masih sangat mentah dalam memahami teori ini untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Maka setelah lulus kuliah, aku bertekad, jika jadi guru agama, aku akan jadi guru yang beda, yang menyenangkan!

Menjadi Guru Agama yang Menyenangkan

Allah menjawab doaku. Aku menjadi guru SD kelas bawah dengan mengampu pelajaran agama. Teori strategi berbasis MI yang selama ini cuma nangkring di kepala, satu persatu bisa aku praktikkan langsung. Misiku untuk memperkenalkan agama dengan cara yang indah menyenangkan dengan harapan terkenang sepanjang hayat, rasanya lumayan terwakili selama dua tahun mengajar.

Melihat binar mata para bocah saat mendapatkan pengetahuan baru, melihat ekspresi bahagia mereka saat aku memasuki ruang kelas, merasakan kehangatan dan keakraban hingga di luar kelas, ah.. betapa menyenangkannya menjadi guru!

Terkadang, aku berandai saat ku ingat kisah kegagalanku di masa silam, andai dulu aku sudah mengetahui teori ini, strategi MI ini, memandang semua anak itu cerdas, istimewa, bintang keluarga, mungkin akan ada saja pintu masuk aku ke dunia mereka, mungkin ada yang bisa aku bantu..

Semua sudah berlalu dan jadi pengalaman dan pelajaran berharga. Bermodalkan kegagalan tersebut, aku justru semakin sensitif dan mencoba jeli melihat potensi baik yang ada pada setiap anak, meski kadang sudah merasa sangat buntu. Dan jika telah sangat buntu, aku akan rehat sejenak dan membuka buku kembali. Yaps.. guru juga butuh guru. Jika tak bisa bertemu langsung, buku cukup jua tuk jadi penawar.

Menyalakan Binar Baca

Sudah lama aku tak begitu antusias membaca buku. Ajaibnya, tantangan kali ini mampu mendongkrak antusias baca itu kembali. Ku rasakan sensasi binarnya saat melihat buku MI-nya pak Munif Chatib yang ada di playbook, yang jarang aku buka. Maklum, empat tahun nonaktif dari dunia pendidikan dirasa cukup menjadi alasan. ✌😁✌

Projek pertamaku adalah menuntaskan buku orangtuanya manusia. Sembari itu, aku akan langsung mempraktikkan discovering ability pada dua ponakan lelakiku.

❤ Hasil discovering ability Hari ini :

Saat nonton lomba 17-an, ada momen wooowww yang tanpa terduga terjadi. Babang yang sedang asik bersepeda, dengan inisiatifnya sendiri, turun dan mengambil bola adeknya yang ditendang oleh teman mainnya (videonya ada di halaman Facebook saya).

👍 intrapersonal : melakukan sendiri tanpa diminta, tanpa instruksi

👌 Interpersonal : menunjukkan kepedulian, kasih sayang.

👏 Change factor : Kalau berdua masih suka rebutan, kalau ada orang lain atau saat dibutuhkan, dia mulai bisa memposisikan dirinya sebagai Abang.

✊ Spiritual : terwakili oleh kalimat di atas.