Archive | 19 Agustus 2017

Semua Anak adalah Bintang (3)

Hari ini aku telah melakukan kesalahan, hiks…

Babang main ke kamarku tadi pagi. Seperti biasa, ia memegang apa pun yang ada lalu mempertanyakan “ini apa umi?”. Jika tidak sedang bertanya, ia pasti ‘meneliti’ benda tersebut. Caranya meneliti bisa dengan mengamati, mengguncang, merobek, bebongkar, dan biasanya berujung ke aktivitas ‘tahan bantingkah?’ ini yang suka bikin senyum bersama tangisan, apa lagi yang dibanting adalah benda tak tahan banting.. 😂😱

Nah, karena aku sedang dandan dalam rangka mau pergi ke suatu tempat, aku tak bisa full meladeni dia yang tengah aktif. Setelah mainan ia bawa ke kamar dan berserakan lalu bosan, ia melipir ke sudut ruangan dan lama tak bersuara.

Aku memperhatikannya dari cermin. Penasaran juga sedang apa dia disana. Sayangnya, ia berada di balik matras yang ku angkat menempel di dinding dan membentuk celah segi tiga.

Segera ku panggil dan ia mendekat. Ia membawa pemantik api yang ku letak di dekat jendela, di belakang matras itu. Belum sempat ngomong, babang langsung menyalakan pemantik tersebut dan jemarinya dekat sekali dengan nyala api. Sontak saja aku mengeraskan suara larangan, “Babang, ga boleh main api!”

Usai mengucapkan, aku langsung sadar dengan bentakanku. Aku merasa sangat bersalah. Baru semalam aku membaca bahwa binar mata rasa ingin tahu anak itu permata, dan aku baru saja memadamkan binar tersebut.

Iya.. babang menyalakan pemantik dengan wajah sumringah. Binar itu terlihat jelas sekali. Seolah bilang, “Aku bisa lho mi nyalain…” Namun karena kepanikanku, membuat senyumnya memudar dan muncul ekspresi bersalah. Aaahhh… Maafkan umi baaang…

Lalu ku peluk dia dan ku pangku. Ku katakan, “Bang, maaf yaa barusan umi bersuara keras.. Babang keren deh sudah bisa menyalakan pemantik api. Tapi pemantik ini kalau dinyalakan bisa berbahaya bang.. api bisa membakar apa pun yang ada di dekatnya.” Lalu ku tunjuk kakinya yang beberapa hari lalu kena knalpot motor. “Ini, kalau kena panas api, bisa melepuh kayak luka babang ini.”

Aku tak terlalu yakin menyampaikannya dengan baik. Tapi itulah usahaku memperbaiki sikapku sebelumnya. Ekspresi babang setelah aku jelaskan juga biasa saja, tak ada respon kalau dia mengerti ucapanku. Yang ku lihat, dia mendengarkan celotehku sambil membolak-balik pemantik dengan jemarinya.